Dulu aku ahli sekali membuat life
planning. Lengkap, detail, menyeluruh di setiap segi kehidupan. Dari target
spiritual, target pendidikan, target keluarga, target kepenulisan, hingga
target jalan-jalan. Namun sekarang aku sudah muak dengan semua itu. Bukan
karena menganggap itu tidak lagi bermanfaat. Namun aku terlalu angkuh untuk
melihat targetku kembali setelah waktunya habis dan melihat bahwa begitu banyak
target yang tidak kuselesaikan. Aku terlalu angkuh mengakui kekalahanku.
Aku masih percaya bahwa menuliskan
keinginan, harapan, dan mimpi pada sehelai kertas sangatlah penting.
Seolah-olah sudah menyelesaikan separuh jalan. Dan luar biasanya, ketika salah
satu keinginan menjadi kenyataan, padahal saat dituliskan aku tidak tahu
bagaimana cara mewujudkannya. Tapi tetap, bagiku menuliskan target-target lima
hingga lima puluh tahun ke depan terlalu mengada-ada. Tidak terlalu efektif
bagi orang sepertiku. Yang ada malah aku menuliskan dengan semangat pada
awalnya, dan tidak pernah kubuka lagi hingga dua tahun ke depan.
Maka aku menuliskan target hidupku
dengan cara sebaliknya. Menulis apa saja yang akan aku lakukan kalau aku mati
sekian hari lagi, atau sekian bulan lagi, atau sekian tahun lagi. Cara yang
bisa jadi terlihat sangat pesimis. Tapi bukankah itu intinya life planning?
Tentang apa yang aku bisa lakukan selagi aku hidup bukan?
Maka begitulah. Dengan cara berpikir
seperti itu, aku akan menyelesaikan apa-apa yang belum selesai dalam hidupku.
Meminta maaf pada orang-orang yang sudah lama kusakiti. Bertemu dengan
orang-orang yang sudah lama kuhindari. Melakukan hal-hal mendesak yang selama
ini kutunda karena berpikir masih ada banyak waktu. Dengan berpikir tidak waktu
lagi untuk hidup, itu sangat efektif untuk membuat seorang angkuh seperti
diriku mendapatkan pelajaran.
Dengan berpikir sebaliknya, akan ada
banyak hal yang kuselesaikan dengan segera. Semoga.