Aku
selalu yakin, berkenalan dengan orang baru itu harus dengan cara yang
mengesankan. Bagiku kalimat “hai, namaku asti. Namamu siapa? Senang berkenalan
denganmu” terdengar sangat membosankan. Kurang memberi impresi terhadap calon
kawan.
Karenanya,
pagi itu, kusorongkan cokelat yang bungkusnya didominasi warna putih dan ungu
kepada sosok yang duduk di sebelahku. “mau cokelat ini?” tanyaku. Kubuka
sedikit kemasan cokelat yang langsung menyembulkan batang-batang cokelat dari
balik lapisan dalamnya.
“ah,
cokelat! Saya sangat suka cokelat. Tapi..terima kasih, saya sedang berpuasa,”
jawabnya santun.
Tadinya
aku agak kecewa karena penawaranku ditolaknya. Namun aku senang, karena
penolakannya didasarkan sebuah ibadah yang aku tahu benar maknanya. Sejurus
kemudian, kututup lagi kemasan cokelat yang sudah terlanjur robek itu, lalu
kujulurkan kembali kepadanya, “ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kamu
berpuasa senin-kamis, ya?”. Dia terlihat begitu girang mendengar responku.
Dengan
perkenalan sederhana, jadilah kami kawan dekat sejak itu. Biru langit
nusantara. Dia menjadi rahmat buatku. Rahmat pertemanan dari sebatang cokelat.