Rabu, 10 Juli 2013
butir hujan
butiran hujan turun dari talang atap rumahmu.
membentuk tali dan menyerupai ular
yang setiap malam siap mematuk tidurmu.
kau tak juga sadar bahwasanya butiran hujan itu
menginginkan cambung untuk kau tampung.
agar senantiasa ia terungguk dengan baik.
agar ia bisa kau tanak bersama beras.
agar ia bisa kau gelegakkan bersama daun pucuk ubi.
agar ia menjadi uap dan bisa kau lesatkan ke dalam buah merah pedas.
mungkin saja kau akan dililit ular setiap malamnya.
sampai kau menjadi seorang tua den renta.
ular yang merupakan penjelmaan dari butiran hujan
yang tak kunjung kau maknai di setiap gerakmu.
sebab ia senantiasa berkunjung pada kesalmu.
kesal pada dingin sebagai penabuh daging buntalmu.
dan karena itulah kau tak ingin memaknai hadirnya.
tiap kali butir hujan itu merengsek turun dari talang atap rumahmu,
kau selalu menolehkan muka ke arah lain
agar tak melihat gambaran kesedihan yang terpendam dari ricik bunyinya.
ya, bunyi yang jatuh ketika ia bertimpa dengan kulit tanah.
bertengkar
ratap mana yang kau timpakan,
ini sakit menjadi berlapis-lapis.
di ceruk malam aku telah menjadi
sesuatu yang asing.
sumpah ku ceritakan seketika.
sayu matamu mengendap
menjadi buah mimpi.
adalah percakapan lama yang terbetik dari peramu hikayat.
ia menceritakan laut diarungi semut dengan daun talas.
ia menceritakan sepasang sayap tak seimbang mengepak,
sebab sebelahnya luka masih bermain.
dan kelak peramu itu akan mengibaratkan aku,
berkisah tentang ingatan pertemuan kita.
bahwa aku adalah mabukmu yang lain,
lain dari ragi yang pernah diseduh para penyamun itu.
Langganan:
Postingan (Atom)