saat angin kekecewaan
menghempaskan rumah impianku ke tanah
dan kemarahan, layaknya gurita melilitkan tentakelnya
di jiwaku
aku hanya menghentikan diriku, aku berhenti di jalanku
dan mencari satu hal yang bisa
menyembuhkanku.
aku menemukan dalam ingatanku
wajah seorang anak
wajah sembarang anak
yang melihat sebuah mainan impian
dengan keterjutan yang manis
wajah seorang anak
dengan pengharapan penuh di matanya
detik saat aku sadar aku menatap satu wajah
manis dengan masa muda dan kepolosan, aku terbawa pergi
dari kesuraman dan putus asa
ke dalam suasana menyenangkan penuh harapan
tiap kali pencarian cinta sejatiku
membawaku ke gerbang neraka
tempat setan menunggu dengan tangan terbuka
aku membayangkan tawa teman-teman perempuanku
suara mereka bergemerincing seperti genta angin
yang digerakkan oleh embusan angin yang mencari
aku ingat ledakan tawa keras dari laki-laki
dan kakiku tanpa ketergesaan, dan dengan tujuan
bergerak melewati gerbang terbuka yang mengancam
ke suatu daerah, aman dari kejamnya patah hati
aku seperti tukang bangunan
kadang aku membangun dengan baik, tapi sering kali
aku membangun tanpa mencari tahu tanah
yang di atasnya ku taruh bangunanku.
aku membesarkan sebuah rumah yang indah
dan aku tinggal di dalamnya selama setahun
lalu, perlahan rumah itu terseret ombak
karena aku telah meletakkan pondasinya
di atas pasir yang bergeser
lain kali aku membangun sebuah rumah besar
dengan jendela-jendela yang berkilau
seperti cermin
dan dindingnya di gantungi
dengan karpet-karpet yang kaya, tetapi
bumi berguncang dengan getaran
dan dinding-dinding itu menyerah
lantai-lantainya merekah
dan istanaku hancur berkeping di kakiku
guncangan dari kejadian-kejadian
dari ketidakpermanenan
menggemakan bagaimana cinta yang sekarat
aku menyadari bahwa kasih sayang platonik
dalam persahabatan dan cinta kekeluargaan
bisa diandalkan
dengan kepastian memperbaiki semangat yang terluka
dan aku telah kapok dengan
romansa erotik.