kenangan. sebuah dunia yang aneh. dunia itu seperti sepasukan pemberontak yang sangat bengal atas sebuah kekuasaan yang bernama kehendak. bahkan tetap sebagai pemberontak yang mampu menandingi kecerdikan kekuasaan yang lain, alam pikir. ia bahkan tetap saja sebagai sepasukan pemberontak yang culas, yang terus merecoki kekuasaan kesadaran.
ia, kenangan, bisa datang dari apa saja, dari mana saja, seperti setan. ia bisa menyentak ketika kita sedang mengaduk minuman. ia bisa menerabas hanya lewat satu adegan kecil di film yang sedang kita tonton. ia bisa menyeruak dari sebuah deskripsi novel yang sedang kita baca. ia bersemayam di mana-mana, di wangi parfum orang yang bersimpangan dengan kita, di saat kita sedang termangu di pantai, di saat kita sedang mendengarkan lagu.
Ia
memiliki sejenis keangkuhan yang dimiliki oleh setan. Seakan-akan jauh hari ia
sudah bilang, “Tuhan kehendak, Tuhan pikiran, Tuhan kesadaran, aku bersedia
masuk ke dalam neraka, tapi ijinkanlah aku mendatangi seluruh peristiwa,
menggoda mereka, menyeret mereka untuk menerima godaanku..”
Ia
datang tak diundang. Ia pergi tak diantar. Seperti jelangkung.
Kenangan
itu juga seperti kubangan lumpur hidup. Tanpa sadar kita telah terperosok di
dalamnya, dan ketika kita mencoba keluar dari kubangan itu, ia semakin menyedot
masuk.
Ia,
kenangan, seperti sepasukan kecil gerilyawan yang liat. Ia bisa bersembunyi di
balik angin, malam, dan hujan. Lalu meremukkan seluruh batalyon tempur. Dan
sialnya, ia beroperasi dengan meminjam banyak sistem operasi yang ada. Ia bisa
datang dengan pembedaan, ia bisa datang dengan melakukan persamaan. Ketika kita
sedang membaca sebait puisi sedih, ia akan mendatangi dengan persamaan. Ketika
kita sedang membaca puisi yang memberi semangat, ia datang dengan pembedaan,
menyeret semangat kita menjadi sedih kita. Dan itu adalah kesialan terbesar.
Kenangan
dan kesedihan. Dua bersaudara yang aku tidak pernah tahu sampai detik ini, yang
manakah yang lebih tua, dan yang mana yang lebih muda.
Ada
orang yang bilang bahwa pada awalnya, awal sekali, setiap manusia yang lahir
sudah dikutuk untuk lebih dulu kenal kesedihan. Buktinya, setiap bayi yang
lahir selalu menangis, dan bukannya tertawa.
Tapi
waktu itu aku menolak tesis itu. Karena menurutku tidak ada hubungan antara
menangis dan kesedihan. Banyak orang yang mengekspresikan kesenangan dengan
menangis. Lalu alasan yang lain adalah karena tangisan pertama itu adalah
bahasa natural, refleks dari keadaan asfiksia, lagi-lagi tidak ada hubungannya
dengan kesenangan dan kesedihan.
Tapi
kemudian aku meragukan bantahanku sendiri. Pengalamanku atas masa laluku
meragukan sendiri jawabanku, tetapi pada dataran yang lebih substantif:
kenangan sedih itu lebih mendasar. Mengapa dulu, aku selalu mencoba
mendokumentasikan momen-momen gembira? Mengapa album foto keluargaku selalu
berisi keriangan? Mengapa aku tidak pernah mendokumentasikan saat kakekku sakit?
Mengapa mama tidak pernah memotretku saat aku terkapar sakit? Mengapa
orang-orang pacaran itu melakukan potret berdua saat dimana mereka tidak sedang
bertengkar? Mengapa orang-orang itu memenuhi album foto mereka dengan acara
ulang tahun, wisuda, momen pernikahan, dan lain-lain? Kenapa momen sedih tidak
mencoba dikekalkan?
Aku
bisa saja menjawab tetap ada dokumentasi kesedihan. Tapi berapa banyak? Berapa
perbandingannya? Dan untuk dikonsumsi oleh siapa?
Kalau
misalnya ada orang mendokumentasikan saat-saat demonstrasi, bukankah di sana
yang ada kesedihan? Di sana ada airmata dan darah. Tapi kalau aku mau jujur
lagi, tidak, tidak itu. Orang mendokumentasikan untuk keperluan yang lain. Dan
saat aku memandang foto itu, yang sesungguhnya muncul, dan lagi-lagi susah
diakui adalah, yang muncul adalah perasaan heroisme yang malu-malu kucing.
Mengakulah!
Sudah
dari awal, sepertinya, kenangan kesedihan lebih berjumawa dibanding kenangan
akan keriangan. Kenangan sedih tidak butuh alat pencatat. Ia, kenangan sedih
itu, justru ingin disingkirkan melalui catatan-catatan atas kebahagiaan dan
kesenangan. Ia ingin dibakar sampai habis, dilenyapkan. Lihatlah, betapa manjanya
pangeran kecil yang bernama kebahagiaan itu. Sang pangeran dikelilingi oleh
punggawa-punggawa catatan: foto-foto, kado-kado, dan suvenir.
Dan
lihatlah betapa pendek jarak yang terbentang antara kenangan gembira dengan
kegembiraan itu. Tapi lihatlah, betapa jauhnya jarak yang dibentangkan antara
si pengingat kesedihan dengan kenangan sedih.
Jarak?
Ya, jarak!
Sederhana.
Ambillah contoh di saat kamu kelas dua SD, ibumu sakit, calon adikmu gagal
lahir ke dunia. Sekarang ingat baik-baik, kesenangan apa saja yang kamu ingat
di saat kamu duduk di kelas dua SD itu?
Tidak
ada.
Nah!
0 thoughts:
Posting Komentar