Aku punya sebuah kisah.
Suatu ketika di sebuah universitas, seorang dosen yang
mengajarkan mata kuliah personal development meminta mahasiswanya untuk membawa
kantong plastik transparan sebanyak satu buah dan beberapa kentang untuk
permainan. Masing-masing diberi nama orang yang paling dibencinya, sehingga
setiap mahasiswa berbeda jumlah kentangnya. Mahasiswa yang paling banyak
membawa kentang bernama Toni.
Lalu, sebelum kelas usai, sang dosen meminta mahasiswa untuk
membawa kentang tersebut selama satu minggu ke mana pun mereka pergi, bahkan
ketika tidur maupun ke toilet. Lalu, mulailah terdengar berbagai keluhan.
Namun, semua mahasiswa tetap melakukan apa yang diminta oleh dosen mereka.
Hari berganti hari. Kentang pun mulai membusuk. Mahasiswa
mulai mengeluh dan kesal, terutama mahasiswa yang bernama Toni, karena ia
membawa 12 buah dan yang paling banyak. Selain berat, bau yang dikeluarkan pun
juga sangat tidak sedap. Waktu berlalu dan semua merasa lega karena penderitaan
mereka akan segera berakhir.
“mahasiswa sekalian, bagaimana rasanya membawa kentang
selama satu minggu?” tanya sang dosen.
Maka terdengarlah keluhan dari setiap mahasiswa. Lalu, toni
yang membawa kentang paling banyak mengacungkan jari dan bertanya,“pak, untuk apa sih meminta kami membawa kentang busuk
selama satu minggu? Berat dan bau sekali.”
Lalu sang dosen pun menjelaskan,
“mahasiswaku sekalian, seperti itulah kebencian yang selalu
kita bawa jika kita tidak memaafkan orang lain. Hanya satu minggu sudah terasa
berat, bagaimana jika kita membawa kebencian itu seumur hidup kita? Bukankah
kasih sayang dan saling memaafkan akan lebih indah dari rasa benci dan dendam?”
Memaafkan memang sebagai hadiah yang sangat berharga bagi orang lain. Tapi di balik itu semua sebenarnya adalah memaafkan merupakan kebutuhan bagi diri kita sendiri.
0 thoughts:
Posting Komentar