Malam memuram.
Diammu menginfeksi udara dan membuat dunia sungkan bersuara.
Dunia 3x4 meter tempat kita duduk berdua.
Lenganmu kau tarik menjauh untuk merengkuh dirimu sendiri.
Tidak apa-apa.
Aku mengerti.
Duka membuatmu dendam,
dibuka kedinginan tapi di bungkus dua lengan buat kamu keringatan.
Bukan berarti saya tidak butuh kamu, dulu sekali kamu memperingatkan.
Aku mengerti,
Kesedihan selalu membawamu pulang ke rahim ibu
tempat engkau meringkuk nyaman sendirian
padahal tidak.
ada dunia di sekelilingmu.
ada aku di sampingmu.
Namun, kamu mendamba rasa sendiri itu.
Diammu memapahku ke ujung pertahanan.
Dan akhirnya, ku tersedak oleh hampa.
Tak satu pun boleh menodai diammu.
Telan nafas itu. Bungkus dan simpan di kantong untuk nanti dilarutkan di sungai.
Lamat-lamat, suara ramai membumbung,
merubung dunia 3x4 tempat kita duduk berduka.
Kudengar gerutu, terkadang batuk, decak lidah,
hingga teriakan yang membuatku gemetar.
Terakhir, terdengar isak pelan.
Namun, siluetmu masih diam sempurna.
Bagaimana mungkin tubuhmu kamu jadikan sarang perasaan?
Dalam diammu, aku mendengar banyak suara.
Diammu berkata-kata.
Tangisanmu yang tak terlihat merobek ruang waktu
dan menghampiriku dengan caranya sendiri.
Mari, kususutkan air mata itu.
Ku kecup keningmu halus, dan ku tidurkan kepalamu di atas leherku yang hangat.
Mari...
Kau dan aku menghembuskan nafas.
Tak lagi pengap, tak ada yang bergerak.
Namun, diam itu telah runtuh
oleh diam.
0 thoughts:
Posting Komentar