Pages

Selasa, 12 Februari 2013

abstain


Di simpang jalan itu seorang pematung ulung terpesona pada pohon nangka besar berdaun rimbun. Berdiri kokoh di pinggir jalan, betapapun anggun, pohon itu sering luput dari perhatian orang-orang yang lalu-lalang.
“bagus sekali batangnya,” pikir si pematung. “jika ku pahat jadi patung, orang tak hanya memperhatikan tapi juga bisa memanfaatkannya sebagai tanda.”
Si pematung pun bekerja. Ia potong seluruh cabang dan ranting, ia sisakan bagian pokok setinggi orang dewasa. Lalu ia pahat pohon itu sampai terciptalah sebentuk tubuh perempuan telanjang. Molek. “siapa pun yang lewat tak akan menyia-nyiakan lagi keindahan ini,” kata si Pematung sembari beranjak pergi.
Benar, hampir semua orang datang dari ketiga arah menyempatkan diri berhenti sejenak untuk memandang kagum patung kayu itu. Tak terkecuali seorang palukis yang sedang mencari pemandangan indah untuk ia pindahkan ke atas kanvas.
“halus sekali patung ini,” pikirnya. “sayang, orang masih melihatnya sebagai kayu.” Pelukis itu lantas menyaput seluruh permukaan kayu dengan warna kuning langsat dan menambakan cat yang sesuai pada beberapa bagian tubuh. “kini ia lebih menyerupai manusia,”gumamnya sebelum melanjutkan perjalanan.
Beberapa orang sampai terkecoh. Mereka kaget, kok ada perempuan telanjang di pinggir pertigaan. Itu melanggar norma susila. Setelah dilihat lebih seksama, mereka sadar itu bukan manusia. Tapi, “mirip sekali” puji mereka. Seorang pengrajin kain batik, satu dari yang terkecoh itu, lantas membebatkan kemben pada dada dan membalutkan jarik pada pinggang sampai betisnya. Patung itu jadi lebih tampak sebagai perempuan dalam kewajaran. Makin cantik. Makin dikagumi oleh siapa saja yang melihatnya.
Syahdan, pada suatu malam bulan purnama, ada dewa dari khayangan sedang terbang rendah di wilayah itu. Ia pun terperanjat menyaksikan perempuan cantik berdiri seorang diri di malam sunyi. Dengan dada berdebar ia mendekat dan, “ah, sialan, tertipu aku!” Pikirnya, jika ia bisa terkelabuhi , tentu banyak manusia dungu yang menganggap patung itu perempuan sungguhan. “kasihan patung ini. Ia tak bersalah, tapi orang yang terkecoh akan memaki, meski akhirnya memuji.” Lantas muncul gagasan isengnya. Tepat pada tengah malam, ia tiupkan ruh ke tubuh kayu itu.
Esoknya, gegerlah seluruh desa. Orang-orang ramai membicarakan seorang perempuan tak dikenal yang duduk bersimpuh dan tersedu di pinggir pertigaan. Kabarnya beberapa orang telah bertanya siapa namanya, dari mana asalnya, namun semua pertanyaan hanya ditanggapi dengan gelengan dan sedu-sedan. Warta tentang perempuan cantik tapi aneh itu pun segera menjalar ke mana-mana. Sampai pula ke telinga si pematung, si pelukis, dan si pembatik.
Karena penasaran ketiga seniman itu pun datang ke pertigaan tempat mereka mendapati patung kayu. Mereka menyeruak di antara kerumunan orang. Begitu melihat perempuan di hadapannya, si pematung berkata,”ia adalah jelmaan patung yang semula berdiri di sini.” Tak sulit meyakinkan massa, sebab faktanya patung yang dulu mereka kagumi kini tak ada, lalu mendadak ada seorang perempuan asing yang tak tahu nama dan asal-usulnya. “Benar, paras dan pakaiannya mirip dengan patung yang dulu.”
Orang-orang pun bertanya: siapa yang berhak mengambil perempuan molek itu sebagai keluarga? ”Si pematunglah yang berhak, karena ia yang mengubah batang nangka menjadi patung perempuan.” Di depan khalayak si pematung mengumumkan niatnya, akan menjadikan perempuan itu sebagai istri dan berjanji akan setia sampai mati.
Tapi terdengar suara lain, “mestinya yang lebih berhak adalah si pelukis, karena dia lah yang menjadikan patung itu benar-benar mirip manusia.” Penuh semangat si pelukis pun berjanji akan menikahinya dan menjamin kesejahteraan hidupnya.
Segera terujar pendapat yang berbeda,”memang benar si pematung dan si pelukis menjadikan pokok nagka itu mirip manusia, tapi mereka membiarkannya telanjang. Maka yang paling pantas menjadi suami perempuan itu adalah si pembatik, karena dilah yang menjaga kehormatannya.”
Merasa mendapat angin, si pembatik tak menyiakan kesempatan. “sebelum ku beri batik, ia hanyalah patung berbentuk manusia tak beradab,” katanya. Dan ia berjanji akan menjadikan perempuan itu istri sholehah yang berbahagia dunia-akhirat.
Ada juga pendapat bahwa yang paling berhak adalah dewa yang memberinya nyawa. Ketiga seniman itu dinilai telah meninggalkan karya mereka, sampai sang dewa menghidupkannya menjadi manusia. Tapi pendapat ini tak mendapat dukungan, sebab dewa hanya patut disembah dan mustahil menikah dengan manusia. Akhirnya, orang-orang sepakat bertanya kepada si perempuan, memberikan kebebasan padanya untuk menentukan pilihan.
Dalam versi asli cerita ini, bagian dari serat anglingdarma, tak dinyatakan secara gamblang siapa akhirnya yang dipilih perempuan itu. Mungkin, maksudnya, kitalah yang harus merenungkan:”mengapa seseorang harus memilih” dan “apa yang telah mereka lakukan” sehingga mereka layak dipilih
Sebelumnya, sebagai pohon nagka di pinggir pertigaan, ia hidup subur dan tenang. Kini, sebagai manusia, yang tak mungkin  hidup sendiri –terpisah dari manusia lain –ia berada dalam situasi harus memilih.Tindakan memilih hanya baik dilakukan jika si subyek dalam keadaan “menjadi diri sendiri” dan bebas menentukan pilihan. Artinya ia memang membutuhkan sesuatu dan yang dipilih mesti sesuai dengan kebutuhan itu. Penonjolan segala hamburan janji tentang masa depan jelas bukan bahan “obyektif” yang patut dijadikan pertimbangan pemilihan.
Saya bayangkan perempuan molek itu akhirnya “memilih tidak memilih”. Ia hanya tersedu mengenang masa lalunya, ketika ia hidup tenteram sebagai pohon nangka yang berdiri anggun dengan rimbun dedaunan...
Selesai.

0 thoughts: