belakangan, kami berbincang tentang memasuki masa lanjut usia. Atau mungkin lebih tepatnya, tentang rasa takut menjadi tua, sebuah masalah lain yang sering menghantui orang-orang. Dalam perjalanan kesini, aku telah memerhatikan sejumlah papan reklame yang menampilkan sosok-sosok muda, tampan, dan cantik. ada gambar seorang pria muda tampan dengan setelan jas, dua orang wanita muda tersenyum membanggakan syampo yang mereka pakai. Kemudian ada gambar seorang remaja putri yang seronok dengan jeans yang tidak dikancingkan. tak seorangpun model yang ditampilkan dalam papan-papan reklame itu berusia lebih dari empat puluh tahun.
apakah anda tidak pernah takut menjadi tua? tanyaku.
asti, aku berusaha akrab dengan proses penuaan.
akrab?
prinsipnya sederhana sekali. semakin bertambah usia kita, semakin banyak yang kita pelajari. apabila usia kita tetap pada belasan tahun, kita akan sama bodohnya dengan ketika usia kita belasan tahun. kita tahu bahwa penuaan tidak hanya berarti pelapukan, tetapi juga pertumbuhan. penuaan tidak hanya bermakna negatif, bahwa kita akkan mati, tetapi juga makna positif, bahwa kita mengerti kenyataan bahwa kita akan mati, dan karena itu kita berusaha untuk hidup dengan cara lebih baik.
ya, kataku. tapi kalau penuaan begitu berharga, mengapa orang selalu berkata
"ah, kalau saja aku muda lagi."
kita tidak pernah mendengar "kalau saja usiaku enam puluh tahun."
"ah, kalau saja aku muda lagi."
kita tidak pernah mendengar "kalau saja usiaku enam puluh tahun."
tahukah kau yang tercermin dari situ, asti? banyak orang merasa hidup ini tidak memuaskan, ada keinginan yang tidak terpenuhi. hidup ini terasa tidak bermakna. karena kalau kita telah menemukan makna hidup, jita tidak ingin kembali. kita ingin lanjut ke depan. kita ingin tahu lebih banyak lagi, berbuat lebih banyak lagi.
dengar, ada yang perlu kau ketahui. juga oleh semua orang muda lain. jika kalian terus bersikeras melawan proses penuaan, kalian akan selalu merasa tidak bahagia, karena bagaimanapun itu akan terjadi.
asti, apa yang ada dalam pikiranmu? tak usah sungkan.
aku tidak langsung menjawab. bukan apa-apa, jawabku, aku hanya heran mengapa anda tidak iri kepada orang yang lebih muda, orang yang sehat.
oh, tentu saja aku iri. akan tetapi begitu rasa iri itu datang, aku meresapinya, kemudian melepaskannya. ingat yang pernah kuceritakan tentang mematikan rasa? aku melepaskan rasa iri itu.
bagaimana cara anda membebaskan diri dari rasa iri kepada..
apa?
aku?
asti, rasanya mustahil bagi sosok tua seperti aku untuk tidak iri kepada orang yang masih muda. akan tetapi masalahnya adalah menerima diri apa adanya dan menikmati kenyataan itu. sekarang adalah masa bagimu untuk menjalani usia dua puluhan. aku telah melewati masa usia kepada duaku, dan kini adalah saatku untuk menikmati usia enam puluh tigaku.
jita harus mencari apapun yang baik, benar, dan indah dalam masa hidup yang sedang kita jalani. memandang ke belakang membuat kita seperti sedang berlomba. padahal usia bukan sesuatu yang dapat diperlombakan.
asti, sesungguhnyalah, semua usia ada dalam diriku. ada aku yang tiga tahun, aku yang lima tahun, aku yang dua puluh satu tahun, aku yang lima puluh tahun. aku telah melewati semuanya, dan aku menghayati yang kurasakan dalam usia-usia tersebut. aku senang sebagai kanak-kanak ketika aku memang masih seorang anak kecil. aku senang sebagai orang lanjut usia yang katanya bijak apabila aku memang pantas menjadi orang lanjut usia yang bijak. kubayangkan bahwa aku bisa menjadi yang mana pun! dalam diriku ada semua usia, dan ini terserah aku. kau mengerti?
aku mengangguk.
bagaimana aku bisa iri kepadamu kalau aku sendiri pernah menjalani usia itu, asti?
0 thoughts:
Posting Komentar