Rabu, 03 Juli 2013
asylum
di rumah sakit jiwa itu, aku diberi kebebasan untuk mengamati para pasien dan mencatat terapi-terapi yang mereka peroleh. aku menyaksikan pasien-pasien yang berteriak-teriak dan menjerit-jerit sepanjang hari. pasien-pasien yang menangis sepanjang malam. pasien-pasien yang buang air tanpa melepas pakaian dalam mereka. pasien-pasien yang tidak mau makan, harus dibelenggu, dan harus diinfus untuk memasukkan obat-obatan serta makanan ke dalam tubuh mereka.
salah seorang pasien, seorang perempuan usia baya, setiap hari keluar dari kamarnya lalu berbaring menelungkup di lantai, terus begitu sampai berjam-jam, tidak peduli dengan dokter-dokter dan perawat-perawat yang lalu lalang. aku menyaksikan kejadian ini dengan perasaan tercekam. setiap hari perempuan itu berbuat yang sama: keluar dari kamar pada pagi hari, tiarap di lantai, tetap begitu sampai malam hari tiba, tanpa bicara kepada siapa pun, diabaikan oleh siapa pun.
aku mencoba duduk menemaninya di lantai, terkadang bahkan berbaring bersamanya, mencoba menariknya keluar dari penderitaan yang dirasakannya. akhirnya, aku berhasil membuatnya duduk, dan belakangan membuatnya mau kembali ke kamar.
menurut pengamatanku, apa yang diinginkan oleh perempuan itu pada hakikatnya sama dengan yang diinginkan oleh banyak orang lain:
pengakuan atas keberadaannya.
aku melihat bahwa kebanyakan pasien di sana adalah orang-orang yang ditolak dan diabaikan, diperlakukan sedemikian agar mereka merasa bahwa keberadaan mereka tidak ada. mereka juga orang-orang yang kehilangan kasih sayang, dan konyolnya, sebagian besar staf rumah sakit justru tidak memberikan yang sangat mereka butuhkan itu.
kenyataan lain yang juga aku amati adalah banyak di antara para pasien ini berasal dari keluarga berada, yang berarti:
kebahagiaan tidak dapat ditukar dengan harta.
aku tidak akan melupakan pelajaran ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 thoughts:
Posting Komentar