Pages

Selasa, 12 Februari 2013

Al-Quran


aku ingin terus melafalkanmu
ayat demi ayat
halaman demi halaman
sampai seluruh bagianmu terkumpul di dalam hatiku

aku ingin menua bersamamu
menghabiskan waktuku untuk mengucap
setiap huruf, kata, dan kalimat yang ada padamu
aku ingin menghabiskan masa mudaku
untuk mengejarmu dan mengejarmu

sampai akhirnya nanti aku tua
pikun hingga tak ada satupun yang bisa
aku ingat dari dunia,
kecuali firman-firman Allah, Rabb semesta alam..

siapa dia?


yang penyuka coklat dan es krim
yang tidak suka makan daging
yang tidak suka minuman diuretik
yang meminta maaf atas keterlambatan 4 menitnya
yang di depannya kau tak pernah bisa berbohong

siapa dia?

:D


Nadia, si pemberani
Asti, si cerdas
Dimas, si kuat
Salsa, si istimewa


k-a-m-a-r-k-u


Aku pulang ke rumah
Sudah banyak yang berubah
Bukan, hanya kamarku yang berubah.
Kamar itu sudah pindah kepemilikan sekarang
ke adikku yang paling kecil

semua berubah kawan
susunannya
meja belajarnya
lemarinya
wangi khas nya
semua tempelan di dinding khas si visual juga sudah musnah
yang ku kenali hanya cat merah mudanya, dia tidak berubah

Buku-buku ku mana?
Baju-baju ku di singkirkan kemana?
Semua tempelan dindingku di buangkah? Masih di simpankah?

Mama bahkan tidak memberitahuku
Adik kecilku itu pun tak meminta ijin dariku

Daripada tak terpakai
Memang seharusnya kamar ini di alih fungsikan
Aku setuju
Tapi, tak bisakah aku di beritahu?
Tak bisa kah aku ikut membersihkan
agar aku lah penentu nasib  barang-barang lamaku?

Bagaimana ini?
Rasanya seperti
Memulai hidup yang baru
Mengumpulkan sisa-sisa barang
Menatanya kembali
Di ruangan lain
Yang asing bagiku

Aku
Rindu
Kamarku
Di sebelah ruang tengah itu.

seorang penyair dan serangkaian esai


Esai bisa sangat cocok ditulis seorang penyair: bentuk ini umumnya hendak berbicara tentang sesuatu yang ingin disebut “benar”, tapi pada akhirnya, seperti puisi, bukan itu yang paling menggoda dirinya.
Esai tidak memutuskan, dan jawaban bukanlah urusannya. Michel de Montaigne, pemikir dan penulis Perancis di abad ke-16 yang memperkenalkan bentuk ini, memakai istilah ‘esai’ –sebuah sebutan yang berasal dari kata essaier (“mencoba”). Dengan sikap yang mengesankan pergulatan yang tak kunjung berhenti, dengan skeptis yang tak pernah lepas, ia pun menulis –dengan pertanyaan pada diri sendiri,”apa yang aku ketahui?”
Sebab itu, sebuah esai –seperti sebuah puisi –tidak ditentukan ide. Memang sebuah esai yang bagus berpusar pada satu masalah saja, tidak berbondong-bondong mengedepankan apa yang mau dikatakan. Tapi “berpusar” juga bukanlah jalan yang kurus. Seperti ditunjukkan puisi, bahasa bukanlah bahan-bahan mati yang tinggal dipungut dari kotak. Bahasa punya kekuatan sendiri, dinamikanya sendiri, dan godaan-godaannya sendiri.
Ruangan yang ada dalam sepatah kata, ternyata mirip rumah kita: ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana.



Tuhan mencipta lautan, aku membuat kolam.
Tuhan mencipta hutan, aku menyusun taman.
Tuhan mencipta kali, aku membangun irigasi.


kisah sebuah pensil


Seorang bocah menyaksikan neneknya sedang menulis sepucuk surat. Seketika si bocah bertanya,”nenek menulis tentang apa? Apakah itu cerita tentang aku?”
Sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya: “nenek memang menulis tentang kamu, tapi yang lebih penting daripada cerita ini adalah pensil yang nenek gunakan. Nenek harap, ketika dewasa nanti, kamu akan seperti pensil ini.”
Si bocah memandangi pensil itu. Tak ada yang istimewa. “Tapi nek, ini tak beda dengan pensil-pensil lain yang pernah ku lihat.”
“itu tergantung bagaimana kamu memandang sesuatu,” sahut sang nenek. Pensil ini, lanjutnya, punya lima keistimewaan yang, jika kamu kelola secara baik, akan menjadikanmu seseorang yang senantiasa berdamai dengan dunia.
Pertama, kamu berbakat menghasilkan sesuatu yang hebat, tapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing langkahmu. Kita sebut tangan itu adalah Tuhan. Tanpa Tuhan, kita tidak bisa apa-apa.
Kedua, sekarang dan nanti, nenek harus berhenti menulis dan menggunakan sebuah rautan. Itu akan membuat pensil ini sedikit menderita, tapi setelah itu ia akan lebih tajam. Kamu juga begitu, harus belajar menahan sakit dan derita, sebab semua itu akan membuatmu menjadi pribadi yang lebih baik.
Ketiga, pensil ini selalu mengingatkan kita agar menggunakan penyetip untuk menghapus kesalahan. Artinya, mengoreksi segala yang telah kita lakukan bukanlah hal buruk, dan akan membantu menjaga kita tetap pada jalan kebenaran.
Keempat, apa yang sesungguhnya berarti dari sebatang pensil bukanlah kayu bagian luarnya, melainkan granit yang berada di bagian dalam. Maka selalu perhatikan apa yang terjadi di dalam dirimu. Jagalah hatimu agar senantiasa baik.
Terakhir, yang kelima, pensil selalu meninggalkan jejak. Dengan cara yang sama, kamu mesti tahu bahwa apapun yang kamu lakukan dalam hidup akan meninggalkan jejak, maka sadarilah setiap tindakanmu. Tinggalkan kesan yang baik pada orang-orang yang kamu tinggalkan.
“nah, apa sekarang kamu mengerti apa keistimewaan dari pensil ini?” tanya sang nenek kepada cucunya...

abstain


Di simpang jalan itu seorang pematung ulung terpesona pada pohon nangka besar berdaun rimbun. Berdiri kokoh di pinggir jalan, betapapun anggun, pohon itu sering luput dari perhatian orang-orang yang lalu-lalang.
“bagus sekali batangnya,” pikir si pematung. “jika ku pahat jadi patung, orang tak hanya memperhatikan tapi juga bisa memanfaatkannya sebagai tanda.”
Si pematung pun bekerja. Ia potong seluruh cabang dan ranting, ia sisakan bagian pokok setinggi orang dewasa. Lalu ia pahat pohon itu sampai terciptalah sebentuk tubuh perempuan telanjang. Molek. “siapa pun yang lewat tak akan menyia-nyiakan lagi keindahan ini,” kata si Pematung sembari beranjak pergi.
Benar, hampir semua orang datang dari ketiga arah menyempatkan diri berhenti sejenak untuk memandang kagum patung kayu itu. Tak terkecuali seorang palukis yang sedang mencari pemandangan indah untuk ia pindahkan ke atas kanvas.
“halus sekali patung ini,” pikirnya. “sayang, orang masih melihatnya sebagai kayu.” Pelukis itu lantas menyaput seluruh permukaan kayu dengan warna kuning langsat dan menambakan cat yang sesuai pada beberapa bagian tubuh. “kini ia lebih menyerupai manusia,”gumamnya sebelum melanjutkan perjalanan.
Beberapa orang sampai terkecoh. Mereka kaget, kok ada perempuan telanjang di pinggir pertigaan. Itu melanggar norma susila. Setelah dilihat lebih seksama, mereka sadar itu bukan manusia. Tapi, “mirip sekali” puji mereka. Seorang pengrajin kain batik, satu dari yang terkecoh itu, lantas membebatkan kemben pada dada dan membalutkan jarik pada pinggang sampai betisnya. Patung itu jadi lebih tampak sebagai perempuan dalam kewajaran. Makin cantik. Makin dikagumi oleh siapa saja yang melihatnya.
Syahdan, pada suatu malam bulan purnama, ada dewa dari khayangan sedang terbang rendah di wilayah itu. Ia pun terperanjat menyaksikan perempuan cantik berdiri seorang diri di malam sunyi. Dengan dada berdebar ia mendekat dan, “ah, sialan, tertipu aku!” Pikirnya, jika ia bisa terkelabuhi , tentu banyak manusia dungu yang menganggap patung itu perempuan sungguhan. “kasihan patung ini. Ia tak bersalah, tapi orang yang terkecoh akan memaki, meski akhirnya memuji.” Lantas muncul gagasan isengnya. Tepat pada tengah malam, ia tiupkan ruh ke tubuh kayu itu.
Esoknya, gegerlah seluruh desa. Orang-orang ramai membicarakan seorang perempuan tak dikenal yang duduk bersimpuh dan tersedu di pinggir pertigaan. Kabarnya beberapa orang telah bertanya siapa namanya, dari mana asalnya, namun semua pertanyaan hanya ditanggapi dengan gelengan dan sedu-sedan. Warta tentang perempuan cantik tapi aneh itu pun segera menjalar ke mana-mana. Sampai pula ke telinga si pematung, si pelukis, dan si pembatik.
Karena penasaran ketiga seniman itu pun datang ke pertigaan tempat mereka mendapati patung kayu. Mereka menyeruak di antara kerumunan orang. Begitu melihat perempuan di hadapannya, si pematung berkata,”ia adalah jelmaan patung yang semula berdiri di sini.” Tak sulit meyakinkan massa, sebab faktanya patung yang dulu mereka kagumi kini tak ada, lalu mendadak ada seorang perempuan asing yang tak tahu nama dan asal-usulnya. “Benar, paras dan pakaiannya mirip dengan patung yang dulu.”
Orang-orang pun bertanya: siapa yang berhak mengambil perempuan molek itu sebagai keluarga? ”Si pematunglah yang berhak, karena ia yang mengubah batang nangka menjadi patung perempuan.” Di depan khalayak si pematung mengumumkan niatnya, akan menjadikan perempuan itu sebagai istri dan berjanji akan setia sampai mati.
Tapi terdengar suara lain, “mestinya yang lebih berhak adalah si pelukis, karena dia lah yang menjadikan patung itu benar-benar mirip manusia.” Penuh semangat si pelukis pun berjanji akan menikahinya dan menjamin kesejahteraan hidupnya.
Segera terujar pendapat yang berbeda,”memang benar si pematung dan si pelukis menjadikan pokok nagka itu mirip manusia, tapi mereka membiarkannya telanjang. Maka yang paling pantas menjadi suami perempuan itu adalah si pembatik, karena dilah yang menjaga kehormatannya.”
Merasa mendapat angin, si pembatik tak menyiakan kesempatan. “sebelum ku beri batik, ia hanyalah patung berbentuk manusia tak beradab,” katanya. Dan ia berjanji akan menjadikan perempuan itu istri sholehah yang berbahagia dunia-akhirat.
Ada juga pendapat bahwa yang paling berhak adalah dewa yang memberinya nyawa. Ketiga seniman itu dinilai telah meninggalkan karya mereka, sampai sang dewa menghidupkannya menjadi manusia. Tapi pendapat ini tak mendapat dukungan, sebab dewa hanya patut disembah dan mustahil menikah dengan manusia. Akhirnya, orang-orang sepakat bertanya kepada si perempuan, memberikan kebebasan padanya untuk menentukan pilihan.
Dalam versi asli cerita ini, bagian dari serat anglingdarma, tak dinyatakan secara gamblang siapa akhirnya yang dipilih perempuan itu. Mungkin, maksudnya, kitalah yang harus merenungkan:”mengapa seseorang harus memilih” dan “apa yang telah mereka lakukan” sehingga mereka layak dipilih
Sebelumnya, sebagai pohon nagka di pinggir pertigaan, ia hidup subur dan tenang. Kini, sebagai manusia, yang tak mungkin  hidup sendiri –terpisah dari manusia lain –ia berada dalam situasi harus memilih.Tindakan memilih hanya baik dilakukan jika si subyek dalam keadaan “menjadi diri sendiri” dan bebas menentukan pilihan. Artinya ia memang membutuhkan sesuatu dan yang dipilih mesti sesuai dengan kebutuhan itu. Penonjolan segala hamburan janji tentang masa depan jelas bukan bahan “obyektif” yang patut dijadikan pertimbangan pemilihan.
Saya bayangkan perempuan molek itu akhirnya “memilih tidak memilih”. Ia hanya tersedu mengenang masa lalunya, ketika ia hidup tenteram sebagai pohon nangka yang berdiri anggun dengan rimbun dedaunan...
Selesai.