Pages

Rabu, 08 Oktober 2014

kamu payah.






kamu payah.
aku kira sore itu saat kamu menyusulku pulang, kamu menyusulku tanpa dia tahu.
tapi ternyata tidak.
dia menangis sama kerasnya dengan tangisanku.
dia terluka sama dalamnya dengan lukaku.


kamu payah.
bagaimana bisa kamu menyusulku secara terang-terangan di depannya?
bagaimana bisa kamu tidak mempertimbangkan perasaannya yg akan terluka?
tidakkah kamu berpikir cukup aku saja yg terluka pada kisah sore itu?
tidakkah kamu berpikir sore itu adalah awal kebahagiaan kalian berdua?
bagaimana bisa kamu membuat dua perempuan menangis sekaligus di satu sore yg sama?
bagaimana bisa kamu membuat dua luka menganga di dua hati sekaligus di satu sore yg sama?


tahukah kamu?
kamu adalah laki-laki terpayah sore itu.
payah.





rindu. tereliye.





apalah arti memiliki,
ketika diri kita sendiri bukanlah milik kita?


apalah arti kehilangan,
ketika kita sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan,
dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?


apalah arti cinta,
ketika kita menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah?
bagaimana mungkin, kita terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci?


wahai, bukankah banyak kerinduan saat kita hendak melupakan?
dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kita dalam rindu?
hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.


ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. 
tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi.
tentang kehilangan kekasih hati.
perihal cinta sejati. perihal kemunafikan.




selamat membaca.





papasan.






kamu berjalan tergesa-gesa dari ujung jalan sana, menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu, sesekali kau betulkan letak ransel di bahumu, lalu kamu kembali menunduk. setelah kamu hampir sampai pada tempatku berdiri kamu mendongak dan tersenyum ke arahku, membuatku spontan ikut tersenyum.


sekali dua kali kita berpapasan, tak ada sapaan, hanya senyuman atau anggukan kepala saja. meskipun orang-orang bilang kamu adalah orang yang menyenangkan namun sampai papasan kita yang kesekian aku belum menemukan kebenarannya.


aku sedang memperhatikanmu, mencari kebenaran tentang dirimu yang menyenangkan itu. mencarimu dalam setiap langkah tegap, mencarimu pada apa yang kamu cari.


lalu aku menjadi seorang yang menantikan berpapasan denganmu, memastikan kamu baik-baik saja. memastikan kamu memang orang yang menyenangkan.





sebut saja aku






sebut saja aku penipu,
ketika aku dengan lihai berbohong tentang perasaanku sebenarnya terhadapmu.


sebut saja aku bisu,
ketika aku memilih diam-diam memperhatikanmu dan menyebut namamu dalam doaku.


sebut saja aku pengecut,
ketika sebegitu gugupnya aku walaupun hanya berpapasan dan menatap bayangmu.








siapa







saat senja datang,
apakah bumi yang pergi meninggalkan
atau matahari yang mengucapkan selamat tinggal?


saat purnama tinggi,
apakah bumi yang menatap rindu
atau rembulan yang menatap sendu?


saat hujan turun, 
apakah awan yang berlarian tak sabar
atau bumi yang menyambut riang?


entahlah.


saat dua sahabat lama tak bertemu
siapa yang menunggu, siapa yang datang
jika dua-duanya berpelukan erat.


saat dua musuh berperang
siapa yang memulai, siapa yang mengakhiri
jika dua-duanya sama-sama binasa.


pun, saat sebuah hubungan terputus
siapa yang pergi, siapa yang ditinggal
jika dua-duanya sama-sama terluka.


entahlah.





 

di balik cermin







tak ada yang berubah meski kenangan sudah berhasil kau kemas dan luka tak lagi membuatmu cemas.
sebab kepergian selalu terasa nyata dan kesepian selalu mencari teman.


di depan cermin ada sejarah yang mengulang-ngulang dirinya, memanggilmu dari kejauhan. aku bersembunyi di sudut lain membiarkanmu menatap wajah yang selama ini bertarung dengan ragu:


pernahkah sejauh ini pernah ada kita di situ?


tak ada yang terganti meski ingatan tergulung rapi dan kau sudah menyediakan ruang yang lain lagi. sebab ruang yang kau pendam selalu memantulkan diri setiap kau mulai meraba pipi. ada yang mengalir di pipimu, tapi bukan air mata. seperti ingatan yang mencair dan mencari rumah.


tapi, tak ada rumah yang kau ingat di balik cermin itu. sebab tak pernah ada kau dan aku.


















aku memang tak selalu ada; begitupun kau.
namun, bukankah itu syarat untuk setia?












nanti










jangan kau temukan aku sekarang.
dicintaimu hari ini, kita hanya akan bergelut dengan sakit hati.
temukan aku nanti,
ketika kau sudah bermaksud untuk tidak mencari lagi.



















"kadang, seseorang harus dipaksa kehilangan terlebih dahulu sebelum pada akhirnya belajar mensyukuri apa yang telah dimiliki.  dan kadang, seseorang mulai belajar mencintai, ketika orang yang biasanya peduli, kini sudah tidak peduli lagi."