Pages

Senin, 06 Januari 2014

biru langit nusantara part 3




Aku selalu yakin, berkenalan dengan orang baru itu harus dengan cara yang mengesankan. Bagiku kalimat “hai, namaku asti. Namamu siapa? Senang berkenalan denganmu” terdengar sangat membosankan. Kurang memberi impresi terhadap calon kawan.

Karenanya, pagi itu, kusorongkan cokelat yang bungkusnya didominasi warna putih dan ungu kepada sosok yang duduk di sebelahku. “mau cokelat ini?” tanyaku. Kubuka sedikit kemasan cokelat yang langsung menyembulkan batang-batang cokelat dari balik lapisan dalamnya.

“ah, cokelat! Saya sangat suka cokelat. Tapi..terima kasih, saya sedang berpuasa,” jawabnya santun.

Tadinya aku agak kecewa karena penawaranku ditolaknya. Namun aku senang, karena penolakannya didasarkan sebuah ibadah yang aku tahu benar maknanya. Sejurus kemudian, kututup lagi kemasan cokelat yang sudah terlanjur robek itu, lalu kujulurkan kembali kepadanya, “ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kamu berpuasa senin-kamis, ya?”. Dia terlihat begitu girang mendengar responku.

Dengan perkenalan sederhana, jadilah kami kawan dekat sejak itu. Biru langit nusantara. Dia menjadi rahmat buatku. Rahmat pertemanan dari sebatang cokelat.



sisi lain dari travelling




Sudah terlalu banyak buku traveling sebelumnya, terutama tentang tempat-tempat yang wajib dikunjungi berikut trip-trip perjalanan dan cara kreatif untuk berhemat, semua dikemas untuk pembaca. Tapi buat aku sendiri, hakikat sebuah perjalanan bukanlah sekadar menikmati keindahan dari satu tempat ke tampat lain. Bukan sekadar mengagumi dan menemukan tempat-tempat unik di suatu daerah dengan biaya semurah-murahnya.

Menurutku, makna sebuah perjalanan harus lebih besar daripada itu. Bagaimana perjalanan tersebut harus bisa membawa pelakunya naik ke derajat yang lebih tinggi, memperluas wawasan sekaligus memperdalam keimanan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh perjalanan hijrah Nabi Muhammad saw dari mekkah ke madinah.

Umat islam terdahulu adalah “traveler” yang tangguh. Jauh sebelum vasco de gama menemukan semenajung harapan, atau colombus menemukan benua amerika, musafir-musafir islam telah menyeberangi 3 samudera hingga indonesia, berkelana jauh sampai ujung negeri china, menembus himalaya dan padang pasir gobi. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah ragu untuk meninggalkan rumah dan belajar hal-hal baru dari dunia luar sana.

Bukankah dalam al-quran juga disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia bisa saling mengenal, berta’aruf, dan saling belajar dari bangsa-bangsa lain untuk menaikkan derajat kemuliaan di sisi Allah?




Wahai anakku! Dunia ini bagaikan samudera tempat banyak ciptaan-ciptaanNya yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu, dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap cobaan. 
(Ali bin Abi Thalib ra.)