Pages

Rabu, 03 Juli 2013

asylum


di rumah sakit jiwa itu, aku diberi kebebasan untuk mengamati para pasien dan mencatat terapi-terapi yang mereka peroleh. aku menyaksikan pasien-pasien yang berteriak-teriak dan menjerit-jerit sepanjang hari. pasien-pasien yang menangis sepanjang malam. pasien-pasien yang buang air tanpa melepas pakaian dalam mereka. pasien-pasien yang tidak mau makan, harus dibelenggu, dan harus diinfus untuk memasukkan obat-obatan serta makanan ke dalam tubuh mereka.

salah seorang pasien, seorang perempuan usia baya, setiap hari keluar dari kamarnya lalu berbaring menelungkup di lantai, terus begitu sampai berjam-jam, tidak peduli dengan dokter-dokter dan perawat-perawat yang lalu lalang. aku menyaksikan kejadian ini dengan perasaan tercekam. setiap hari perempuan itu berbuat yang sama: keluar dari kamar pada pagi hari, tiarap di lantai, tetap begitu sampai malam hari tiba, tanpa bicara kepada siapa pun, diabaikan oleh siapa pun.

aku mencoba duduk menemaninya di lantai, terkadang bahkan berbaring bersamanya, mencoba menariknya keluar dari penderitaan yang dirasakannya. akhirnya, aku berhasil membuatnya duduk, dan belakangan membuatnya mau kembali ke kamar.

menurut pengamatanku, apa yang diinginkan oleh perempuan itu pada hakikatnya sama dengan yang diinginkan oleh banyak orang lain:
pengakuan atas keberadaannya.

aku melihat bahwa kebanyakan pasien di sana adalah orang-orang yang ditolak dan diabaikan, diperlakukan sedemikian agar mereka merasa bahwa keberadaan mereka tidak ada. mereka juga orang-orang yang kehilangan kasih sayang, dan konyolnya, sebagian besar staf rumah sakit justru tidak memberikan yang sangat mereka butuhkan itu.

kenyataan lain yang juga aku amati adalah banyak di antara para pasien ini berasal dari keluarga berada, yang berarti:
kebahagiaan tidak dapat ditukar dengan harta.

aku tidak akan melupakan pelajaran ini.


kami bicara tentang emosi


asti, pernahkah kau mendengar tentang mematikan perasaan?

mematikan perasaan?

ya. mematikan perasaan. dan ini penting, belajar mematikan perasaan.
kau tahu salah satu yang diajarkan dalam buddhisme? jangan mengikatkan diri pada kebendaan, karena segala sesuatu tidak kekal.

tapi tunggu, bukankah anda selalu bicara tentang pengalaman hidup? 
semua emosi yang baik, juga semua emosi yang buruk?

ya.

kalau begitu, bagaimana anda berbuat demikian bila anda mematikan perasaan?

ah, kau masih terikat dengan pikiran, asti. tapi mematikan perasaan tidak berarti kita tidak membiarkan pengalaman meresap ke dalam diri kita. Sebaliknya, kita membiarkan pengalaman meresap secara penuh. itulah sebabnya kemudian kita bisa mematikan rasa.

aku masih bingung.

ambil satu contoh salah satu emosi, cinta kita kepada orang yang kita sayangi, atau rasa takut akibat penyakit yang mematikan. apabila kita menahan emosi-emosi itu, apabila kita tidak membiarkan diri mengalaminya, kita tidak pernah dapat mematikan rasa, kita terlalu sibuk menghadapi rasa takut. kita takut mengalami rasa nyeri, kita takut mengalami penderitaan akibat cinta.

tapi dengan membiarkan diri mengalami emosi-emosi ini, dengan membiarkan diri terjun ke dalamnya, sampai sejauh-jauhnya, kita akan mengalaminya secara penuh dan utuh. kita tahu arti sakit. kita tahu arti cinta. kita tahu arti sedih. dan hanya ketika kita mengatakan "baiklah, aku telah mengalami emosi itu. aku  kenal betul emosi itu. sekarang aku perlu mematikan perasaan dari emosi itu untuk sementara."

betapa sering kita berbuat seperti itu dalam kehidupan sehari-hari, asti. betapa sering kita merasa kesepian, kadang-kadang sampai sangat ingin menangis, tetapi kita berusaha keras untuk tidak mengeluarkan air mata karena kata orang kita tidak boleh menangis, atau betapa dahsyat rasa cinta yang kita rasakan kepada seseorang tetapi kita tidak mengatakan apa pun karena terbelenggu oleh rasa takut bahwa pengungkapan dengan kata-kata akan berpengaruh buruk terhadap hubungan kita.

kita bukan kerannya, asti. basuhlah diri kita dengan emosi. kita tak akan terluka karenanya. kita malahan akan terbantu. apabila rasa takut uitu kita biarkan, begitu kita terbiasa dengan emosi-emosi tersebut, mampu merasakan sifat-sifatnya, mengenali gejala-gejalanya, menghayati akibat-akibatnya, maka kita sanggup berkata kepada diri sendiri :sudahlah, ini hanya rasa takut. aku tidak akan membiarkannya mengendalikan aku. aku memandangnya seperti apa adanya."

sama halnya dengan kesepian: kita membiarkannya datang, kita membiarkan air mata mengalir karenanya, kita membiarkan diri merasakannya secara utuh, tetapi pada akhirnya kita sanggup berkata "baik, begitulah rasanya ketika aku kesepian. aku tidak takut merasa sepi, tapi sekarang aku akan menyampingkan rasa sepi itu dan  sadar bahwa di dunia ini emosi-emosi lain masih ada, maka akuakan mencoba mengalami semuanya."

mematikan perasaan, mengosongkan diri, detacment.

aku tidak ingin meninggalkan dunia ini dalam cengkeraman rasa takut, asti.

aku mengangguk.
tapi jangan pergi sekarang.

tidak. belum. kita masih punya pekerjaan.


kami bicara tentang memaafkan


tidak hanya orang lain yang perlu kita maafkan, asti.

diri sendiri?

ya. untuk segala sesuatu yang tidak kita kerjakan. untuk segala sesuatu yang seharusnya kita kerjakan. kita tidak boleh berhenti pada penyesalan diri atas sesuatu yang semestinya terjadi. itu tidak ada gunanya, apalagi bila keadaan sudah begini. percayakah kau bahwa semua ini sudah diatur?

aku pernah menyesal karena seharusnya aku bisa belajar dan bekerja lebih keras, aku pernah menyesal karena seharusnya aku bisa menulis lebih banyak. aku sering menghukum diriku sendiri karenanya. sekarang aku merasa bahwa semua penyesalan itu tidak berguna. maka berdamailah. berdamailah dengan diri sendiri dan semua orang di sekitar kita.

maafkan diri sendiri. maafkan orang lain. jangan di tunda-tunda, asti. tidak semua orang punya kesempatan untuk ini.

percayalah, semua hal akan indah dari sisinya masing-masing.




kami bicara tentang mendengarkan


asti, suka kah ketika kau diperhatikan?

aku percaya dengan kehadiran yang seutuhnya, asti. artinya kita harus bersama orang yang sedang kita hadapi. ketika aku berbincang denganmu sekarang, aku mencoba tetap memusatkan perhatian hanya kepada yang sedang kita bicarakan. aku tidak berpikir tentang sesuatu yang kita obrolkan pekan lalu. aku tidak berpikir tentang apa yang akan terjadi jumat besok. aku tidak berpikir tentang sahabatku yang lain, atau obat-obatan yang sedang aku minum.

aku sedang bercakap-cakap denganmu. maka aku berpikir tentangmu.

salah satu penyebabnya, asti, adalah bahwa kebanyakan orang terlalu tergesa-gesa. mereka belum menemukan makna dalam hidup masing-masing, maka mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk memburu, untuk mencari. mereka melamun tentang mobil baru yang ingin mereka beli, rumah baru, pekerjaan baru. kemudian yang mereka dapatkan dari semua itu hanyalah kehampaan, maka mereka terus memburu.

cobalah untuk sungguh-sungguh mendengarkan seseorang. tanpa menjual sesuatu kepada mereka, mengambil sesuatu dari mereka, menarik mereka, atau mengharapkan sesuatu sebagai imbalan. sudahkah kita melakukannya?