Pages

Sabtu, 25 Agustus 2012

Jakarta

ini Jakarta kota tua, Tuan
terlalu tua untuk berkaca pada kenyataan
terlalu senja untuk merenungi kebisingan

di hening hutan beton
pohon-pohon tua merintih pelan
lirih serupa gumam
dan orang-orang lalu lalang seperti biasanya
tanpa desir dalam dada
seperti tak merasakan apa-apa

mungkin Tuan akan bertanya
ada apa dengan Jakarta?

di sela kesibukan Asia-Afrika
di tengah keramaian merdeka
orang-orang menanam impian di sudut jalan
wajah-wajah melintas
menatap dingin

dan ini Jakarta yang gelisah
tak sempat damai dengan ramai
bukan sepi, memang
hanya timbunan harapan
yang berdiri setengah tiang

diam.

pernah dia berkata
ku harus katakan semua
jangan ada yang disembunyikan.

lalu kali yang lain dia berkata
tak perlu ku katakan itu
biar saja dia tak tahu menahu

sebenarnya apa sih maunya?

dan jangan salahkan aku
jika tak ada cerita yang keluar dari mulutku.

re-use

tambal lubangnya, gunakan lagi celengannya.

selamat pagi

sinar emasnya
membelah angkasa,
bangunkan semesta
tuk kembali terjaga.

prosa

saat angin kekecewaan
menghempaskan rumah impianku ke tanah
dan kemarahan, layaknya gurita melilitkan tentakelnya
di jiwaku
aku hanya menghentikan diriku, aku berhenti di jalanku
dan mencari satu hal yang bisa
menyembuhkanku.

aku menemukan dalam ingatanku
wajah seorang anak
wajah sembarang anak
yang melihat sebuah mainan impian
dengan keterjutan yang manis
wajah seorang anak
dengan pengharapan penuh di matanya

detik saat aku sadar aku menatap satu wajah
manis dengan masa muda dan kepolosan, aku terbawa pergi
dari kesuraman dan putus asa
ke dalam suasana menyenangkan penuh harapan

tiap kali pencarian cinta sejatiku
membawaku ke gerbang neraka
tempat setan menunggu dengan tangan terbuka
aku membayangkan tawa teman-teman perempuanku
suara mereka bergemerincing seperti genta angin
yang digerakkan oleh embusan angin yang mencari

aku ingat ledakan tawa keras dari laki-laki
dan kakiku tanpa ketergesaan, dan dengan tujuan
bergerak melewati gerbang terbuka yang mengancam
ke suatu daerah, aman dari kejamnya patah hati

aku seperti tukang bangunan
kadang aku membangun dengan baik, tapi sering kali
aku membangun tanpa mencari tahu tanah
yang di atasnya ku taruh bangunanku.
aku membesarkan sebuah rumah yang indah
dan aku tinggal di dalamnya selama setahun
lalu, perlahan rumah itu terseret ombak
karena aku telah meletakkan pondasinya
di atas pasir yang bergeser

lain kali aku membangun sebuah rumah besar
dengan jendela-jendela yang berkilau
seperti cermin
dan dindingnya di gantungi
dengan karpet-karpet yang kaya, tetapi
bumi berguncang dengan getaran
dan dinding-dinding itu menyerah
lantai-lantainya merekah
dan istanaku hancur berkeping di kakiku

guncangan dari kejadian-kejadian
dari ketidakpermanenan
menggemakan bagaimana cinta yang sekarat

aku menyadari bahwa kasih sayang platonik
dalam persahabatan dan cinta kekeluargaan
bisa diandalkan
dengan kepastian memperbaiki semangat yang terluka

dan aku telah kapok dengan
romansa erotik.

di peron stasiun

perempuan di peron stasiun
duduk termenung-menung
tak hendak menunggu
tak hendak menuju
ia hanya ingin pergi
menempuh perjalanan sunyi
lalu kembali di telan sepi

ia duduk lagi di peron stasiun
di kursi yang sama pada senja yang sama
di antara toko-toko, bau keringat dan suara adzan
suara-suara kedatangan
suara-suara keberangkatan
rasanya semua sama saja; jeritan-jeritan
"hari ini seperti kemarin, esok mungkin hari ini"

rupanya sepi itu di dalam hati
tak berubah setiap kali
di hadapan hidup yang berubah berkali-kali

lambat-lambat senja menjadi tua
tembok dan dinding stasiun berganti hujatan
omong kosong dalam ruangan
gadis kecil pemilik rembulan, makin tak peduli
gadis kecil tetap bernyanyi, tentang mimpi dan korupsi

perempuan di peron stasiun tengah bermimpi
inilah puisinya yang dituliskan pada dinding besi

Semarang

kota ini tak begitu besar, sebenarnya
tapi mengapa kita tak pernah tak sengaja bertemu, teman?
selalu berbedakah tempat yang kita tuju?
sudah begitu berbedakah dunia kita sekarang?

aku merindukanmu

kau tidak pernah tahu

kau tidak pernah tahu
bahwa setiap malam menjelang
dia tidak hanya takut akan gelap
tapi juga takut
jika rindu itu tiba-tiba menyergap
lalu dia hanya bisa diam
dengan batin yang ber-istighfar

dan dia juga berdoa untukmu
tapi kau tidak pernah tahu