Pages

Jumat, 10 April 2015

Nightingale Floor ~







Mungkin karena memang pada dasarnya aku adalah orang yang terlahir untuk menikmati kesendirian, aku jadi terbiasa untuk bepergian sendiri, melakukan semuanya sendiri, menjalani apa yang aku suka tanpa harus membebani orang lain. 



Kesendirian terkadang membuat otakku bekerja lebih hebat ketimbang biasanya, berusaha merubah apa yang ada di depan mata, menjadi kata-kata yang sesuai dengan apa yang hati rasa. Kesendirian kerap membuat otak sisi sebelah kananku lebih sering bekerja. Dan jujur, karena hal itulah dalam kesendirian aku selalu merasa bahwa hidupku jauh lebih berwarna.



Hari ini aku pulang lebih awal, aku sempatkan untuk mampir di sebuah toko buku gramedia utama di Surakarta, di jalan Slamet Riyadi. Selain karena toko buku ini lebih besar, lantai dua yang berisi buku cerita dan novel itu kerap lebih sepi ketimbang toko buku biasanya. 



Setelah menitipkan tas, aku pergi ke bagian buku-buku novel tebaru. Tampaknya ada banyak pengarang-pengarang baru yang tidak aku kenal, dan novelnya pun terlihat menarik dari sinopsis dan cover-covernya. Aku lebih memilih membaca cerita orang luar ketimbang orang pribumi, karena cerita mereka lebih bervariasi ketimbang novel-novel Indonesia yang begitu-begitu saja isinya.



Aku mencari satu buku yang sudah dibuka, mengambilnya, lalu duduk di lantai sembari bersandar pada rak buku. Lagu instrumental Utada Hikaru yang kerap diputar oleh pihak toko buku membuat pikiranku semakin melayang jauh meninggalkan raga yang masih duduk bersandar di samping rak buku.



“Permisi..”



Tiba-tiba pikiranku yang sedang melayang jauh tiba-tiba ditarik paksa kembali ke dalam kepalaku ketika ada seseorang yang memecah keheninganku. Seorang laki-laki mengenakan tas ransel yang umurnya tak lebih jauh dariku lewat di depanku.



“Ah iya maaf.” jawabku sambil melipat kaki.



Aku melirik ke arahnya sebentar, ia tampak sibuk mencari-cari buku perihal kedokteran. Ah mungkin dia memang anak kedokteran, sama sepertiku. Di tangan kirinya, ada buku tentang Anatomi, sedangkan sekarang ia berpaling dan melihat-lihat ke arah rak novel yang sedang berjajar rapih di depannya.



Selanjutnya aku tidak mempedulikan dia lagi, aku kembali membaca buku yang tengah aku pegang dari tadi dan membiarkan pemikiranku terbang bebas lagi. Satu-dua-tiga menit aku habiskan, sesekali aku mencoba mengganti posisi duduk karena lelah, dan sesekali juga aku melirik ke arah laki-laki tadi yang sekarang sedang berdiri di depan rak novel dan membaca buku seperti apa yang aku lakukan.



Bodoh, kenapa tidak ikut duduk saja di lantai? Dasar, gengsinya tinggi sekali. Apa tidak capek dia seperti itu terus? berdiri membaca buku sembari mengapit buku anatomi yang super berat itu di antara lengan dan ketiaknya. Ah aku malah mencibir orang lain! daripada seperti ini terus, mending aku lanjut membaca lagi saja; Pikirku.



Sedang membaca asik-asiknya, perasaanku mendadak tidak enak. Apa kalian pernah merasakan perasaan janggal ketika merasa ada yang memperhatikan kalian? Nah aku sedang merasakan hal itu. Dengan sigap aku langsung menengok ke arah tatapan yang sedari tadi mengganggu aktivitasku ini.



Ketika aku menatapnya, ia langsung memalingkan pandangnya berharap aku tidak menyadarinya. Dasar, maunya apa sih nih cowok? aku kesal sendiri dalam hati sebelum pada akhirnya kembali memutuskan untuk tidak terlalu peduli dan melanjutkan membaca lagi. 



3 menit berlalu, aku merasa tidak enak lagi. Perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan tadi. Aku menghela nafas panjang, menutup buku, lalu melihat ke arah tatapan itu. Dan kembali terulang lagi, ketika aku menatapnya, ia langsung memalingkan tatapannya seperti apa yang ia lakukan waktu pertama tadi.



Namun kali ini aku jengkel, aku terus menatapnya bahkan ketika ia pura-pura sedang membaca buku novel yang tengah ia pegang itu. Aku menatapnya terus, tidak melirik, namun menatap, seluruh wajahku sedang mengarah kepadanya. Tentu lama-lama ia juga merasakan perasaan yang aku rasa ketika ditatapnya tadi. Secara pelan-pelan ia mulai melirik ke arahku dan pada akhirnya pandangan kita bertemu.



Aku diam saja, tidak bertanya. Toh apa yang harus aku tanya juga? Dia terlihat salah tingkah, sebelum pada akhirnya dia mendatangi aku pelan-pelan.



“Maaf..” Katanya sungkan.



“Ya?” Jawabku.



“Itu buku apa ya kalau boleh tau?” Ia menunjuk ke arah buku yang tengah aku baca.



“Nightingale Floor.” Jawabku dingin.



“Tentang apa?”



“Jepang.”



“Ngg.. kalau boleh tau, di mana ya rak tempat menyimpan buku itu?” Ia mulai mencari-cari letak buku dengan cover yang sama di sekitarku.



“Ini, baca saja, kebetulan cuma ada satu buku yang plastiknya sudah dibuka.”



“Eh, kamu kan lagi baca. Nggak, nggak usah.” Ia menolak halus.



“Sudah selesai kok.” Jawabku



Aku memberikan buku itu kepada dirinya. Ia mengambilnya lalu berdiri di depanku sembari membaca sinopsisnya terlebih dahulu, lalu kemudian membaca halaman yang pertama.



“Duduk saja, jangan berdiri, lagian buku Anatomi kamu itu berat kan?” Aku menunjuk ke arah buku kedokteran yang ia apit di antara tangan dan ketiaknya.



“Ah iya, ikut ya..” Ucapnya sembari duduk bersila di depanku.



“Anak kedokteran?” Tanyaku memecah keheningan.



“Iya.” Jawabnya sambil tersenyum sebentar lalu kembali fokus kepada buku yang tengah ia baca.



“UNS?”



“Bukan, UMS.”



“Haaa, semester berapa emang?”



“Tahun ini masuk semester 6”



“Udah mulai bikin skripsi dong?”Jawabku 


"Iya, skripsiku tentang Anatomi, makanya aku beli buku ini"



Aku hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasannya sebelum pada akhirnya kita berdua kembali terdiam. Aku diam sebentar, berdiri, lalu mencari buku yang kemasannya sudah dibuka lagi. Ada satu buku yang tampaknya menarik, judulnya pun lucu. “From One Dorm, To Another Dorm.” atau artinya, dari satu pintu kos, ke pintu kos lainnya.



Menceritakan tentang pergaulan seorang pria barat yang tak lepas dari sex addict, yang pada akhirnya pergi dari satu asrama wanita ke asrama wanita lainnya hanya untuk melakukan sex satu malam saja. Sebelum pada akhirnya ia dibuat menetap pada satu pintu kamar tepat di sebelah pintu kamar wanita yang pernah menemani kencan satu malamnya.



Karena merasa ceritanya nyaman untuk dibaca, akhirnya aku kembali duduk dan tak bersuara kembali. Suasana saat itu begitu hening padahal ada dua anak manusia yang sedang duduk di situ. 



Beberapa kali, mataku meliriknya, lalu membaca lagi. Meliriknya sekali lagi, lalu membaca lagi. Begitu saja terus hingga aku sendiri tidak tahu aku sedang membaca cerita tentang apa. Namun secara tiba-tiba, dia berdiri, merapihkan bajunya lalu bersiap pergi. Aku yang sedari tadi memang sedang memperhatikannya langsung cepat-cepat bertanya,

 

“Mau pergi?” Tanyaku.



“Iya, aku kayaknya mau ambil yang ini.” Ucapnya seraya mengacungkan buku Nightingale Floor yang masih dalam kemasan plastik.



“Makasih ya, bukunya bagus.” Ia tersenyum.



“Oh iya, Dimas” Ucapnya lagi sembari menjulurkan tangan.



“Ah iya.” Aku langsung buru-buru berdiri. “Asti, namaku Asti. Salam kenal Dokter Dimas.” Aku menangkupkan tanganku sembari tersenyum.



“Sekali lagi makasih yaa. Semoga kita ketemu lagi” Ucapnya



“Iya, sama-sama Ucapku membalas



Ia pun perlahan berlalu setelah mengambil kembali buku Anatomi yang sempat ia letakan di lantai tersebut. Semakin lama, ia semakin tidak terlihat dalam pandanganku. Dan entah kenapa aku masih terpaku berdiri tanpa melakukan apa-apa lagi. Pikiranku tak lagi melayang di antara buku-buku, pikiranku melayang di antara senyum laki-laki yang baru saja aku kenal itu.



Aku menarik napas panjang, dan kembali duduk di tempat pertama aku terduduk tadi lagi. Aku ambil buku Nightingale Floor yang sudah dibuka kemasannya itu, lalu pura-pura membacanya, berharap esok waktu ia datang lagi. Sudah lebih dari 3 tahun sejak kejadian itu, dan sudah lebih dari beberapa kali aku menyempatkan diri mampir ke toko buku yang sama, duduk di tempat yang sama, membaca buku yang sama, dan masih juga mengharapkan kejadian yang sama. Aku sudah membaca buku Nightingale Floor ini lebih dari 3 kali; pun keempat seri buku yang lainnya. Berharap suatu saat Dimas akan datang lagi, lalu kita berbincang-bincang mengenai Takeo—tokoh utama pada buku Nightingale Floor— sang penguasa Clan Otori, atau tentang Kenji sang Ninja yang sangat hebat itu, atau mungkin juga bercerita tentang bagaimana kehebatan Kaede; istri Takeo yang dipaksa menjalankan pemerintahan sebuah Clan yang ternyata menjadi musuh utama dari Clan Otori itu sendiri. 



Apa Dimas sudah menjadi dokter sekarang?
Apa Dimas sering ke tempat ini seperti apa yang aku lakukan juga?
Entahlah.



Aku menghela nafas panjang, mengembalikan kembali buku Nightingale Floor yang sedang aku pegang kembali ke tempatnya tadi lalu bergegas berdiri meninggalkan tempat biasa aku duduk sendirian semasa kuliah itu. Sudah hampir tiga tahun semenjak kejadian itu berlalu. Dan sayangnya,



Hari ini,
Dimas tidak ada lagi.