Pages

Selasa, 30 September 2014

Gelut





seorang laki-laki berkelahi dengan puisi
rahangnya ditinju metafor bertubi-tubi
pelipisnya memar, mulutnya muntah diksi
kepalanya dikoyak-koyak imajinasi


"ayo, puisi, baca pikiranku!"


seorang laki-laki bertengkar dengan puisi
hanya untuk membuktikan:
siapa di antara mereka yang paling sunyi.





Evanescence - My Immortal






perihal menunggu.






kau bilang kau takut ia pergi darimu, lalu kau minta ia menunggumu. kau berjanji padanya kau akan segera tiba dengan bermacam janji pengikut lainnya. kau yakinkan ia bahwa kau benar benar akan datang, kau teramat ingin menjaga ia. kau telah berjanji.


kau berani sekali membuatnya menunggu. apa yang kau punya sehingga ia harus mau mengikutimu. apa yang membuatmu yakin kau patut untuk ditunggu. apa pula yang akan kau bawa hingga ia akan tertarik untuk berjalan bersamamu.


kau sungguh berani.


datangilah ia dengan baik, ketika kau siap dan ia siap. tak perlu ada yang menunggu, tak perlu sendirian kedinginan karena menunggu yang lainnya. ia atau kau bisa berjalan duluan mencari perapian hangat. atau menyeduh cokelat panas untuk dinikmati sendiri.


membuatnya menunggu bukan hal yang baik, jangan membuatnya menghalangi kebaikan yang akan datang padanya.




jauh





di permukaan mataku kau menuliskan luka, lalu memaksa bibirku membacanya kata demi kata dengan ucapan perpisahan. kita begitu fasih menghancurkan pilihan dan tak pernah tahu bagaimana cara mengembalikan.


sementara air mata sibuk mencari jalan pulang. aku tak mampu menulis di tanganmu sebab sebuah genggam tak mampu menahan puluhan rencana kepergian. kita begitu hafal cara saling menemukan tapi tak pernah paham bagaimana cara bertahan.


di dadamu ada tulisan yang tak pernah selesai. tentang rindu yang lumpuh di tengah jalan dan cinta yang mekar di tempat lain. jauh dari yang tak akan kembali, jauh dari yang tak pernah kembali.





bimbang (part 2)






pada paragraf yang begitu singkat, kau sempat menulis bekas luka. di sana kau dan aku dahulu dengan tabah menyusun huruf demi huruf sambil belajar membuat narasi yang bahagia. padahal akhir cerita tidak bersahabat dengan waktu dan sisa rindu di sela kata telalu lemah untuk patuh kepada airmataku. tak ada jeda untuk kau dan aku tinggal di sini. biarkan aku membiarkanmu pergi.


biarkan aku membiarkanmu pergi.


pada paragraf yang begitu singkat, ada ingatan yang berkarat. di sana, kau dan aku terperangkap dalam kalimat pasif yang tak paham bagaimana cara menunggu. sedang cintamu telah luput di titik tedekat dan langkahku telah luput di tanda tanya terjauh. tak ada celah untukmu dan aku pergi dari sini. biarkan aku membiarkanmu kembali.


biarkan aku membiarkanmu kembali.





bimbang





aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti embun yang hinggap di tepian daun
dan tanah yang sabar menyambutnya jatuh.


tapi aku ingin melupakanmu.


aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti mata yang berkedip menyambut pagi
dan daun jendela yang mengintip matahari.


tapi aku ingin melupakanmu.


aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti waktu yang tak pernah berhenti
dan senyummu yang mengabadikannya.


tapi aku ingin melupakanmu.


aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
seperti kata 'rindu' yang ku ucap
dan kau membalasnya dengan 'aku juga'


tapi aku ingin melupakanmu.


aku ingin melupakanmu dengan sederhana.
sesederhana air mata yang mengalir
sesederhana genggam tangan  yang terlepas.


tapi aku ingin mencintaimu.