Pages

Kamis, 31 Desember 2015

pengarang telah mati




saudara, saya biru langit nusantara. panggil saja saya ara.
tokoh sebuah cerita yg ditulis oleh seseorang yg meninggal seminggu yg lalu, meninggalkan saya belum selesai. maksud saya, sebelum sempat ia menyelesaikan ceritanya ia meninggal dunia. saudara sempat juga melihat jenazahnya, bukan? wajahnya tenteram sekali, seolah ia tidak punya masalah ketika meninggalkan dunia ini. padahal ia masih punya masalah besar, yakni menyelesaikan ceritanya.


saya mula-mula diciptakannya pada suatu pagi, sekitar pukul tiga, ketika ia tidak juga bisa tidur. mungkin obat tidur yg diberikan dokter kepadanya tidak mempan lagi. mungkin belum pernah ia merasa segelisah itu sewaktu menuliskan kalimat pertama cerita itu, yg menyangkut penggambaran tentang diri saya (saya tentu tidak yakin akan hal itu karena baru berwujud beberapa patah kata). begitu kalimat itu selesai, saya sadar bahwa saya ada, hidup, hadir. dan keberadaan saya dalam cerita itu harus ada awal dan akhirnya, juga tidak sendirian saja.


dari layar komputer saya bisa menatap wajahnya yg tampak menderita, mungkin karena sudah lama mengidap beberapa penyakit. hanya keajaiban saja yg menyebabkannya tetap hidup beberapa tahun lamanya.


sesudah saya ada beberapa tokoh lain yg dilahirkan, rekan-rekan saya dalam cerita yg masih dalam proses penciptaan itu menghubungi saya, mereka tampaknya khawatir. "pengarang itu sudah payah sekali kesehatannya, kalau tiba-tiba ia mati, dan cerita tentang kita belum selesai, bagaimana nasib kita? terutama nasibmu, yg menjadi tokoh utama?" beberapa kali kami bertemu untuk mencoba meredakan kegelisahan, tetapi apa yg bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya oleh tokoh-tokoh yg ditinggal begitu saja oleh pengarangnya di tengah jalan?


saya hanya ada dalam beberapa file di komputernya. saya benar-benar tidak tahu saya mau dibawa kemana. watak saya apa. ia seesanknya saja memberi nama saya biru langit nusantara. sebenarnya, apa haknya memberi nama saya? saudara pun tidak diberi nama saat diciptakan, tetapi sesudahnya, oleh ayah, ibu, atau kakek saudara, kan? tapi sudahlah. apa pun nama saya, saya harus menerimanya, bukan? file-file cerita yg belum selesai itu dikumpulkannya dalam sebuah folder yg diberi nama in edita.


saya tidak bisa ditinggalkannya begitu saja, bukan? proses penciptaan yg tidak selesai akan besar sekali akibatnya bagi yg diciptakan, bagi saya dan jalan hidup saya. saya tahu bahwa mungkin ada saja editor yg mau diberi tugas merapikan file-file itu dan menyulapnya menjadi sebuah cerita. meskipun hal itu aneh; mana ada tokoh yg diciptakan oleh dua manusia. atau boleh saja? kalau boleh  saja saya minta saudaralah yg melakukannya. dan lagi, kenapa pengarang saya itu seenaknya saja mati dan meninggalkan ciptaannya belum selesai? mana tanggung jawabnya?


saya mohon saudara berbuat sesuatu agar saya tidak lagi dihantui kebingungan yg pasti tidak akan ada selesainya. tidak berarti bahwa saya menimpakan kebingungan ini kepada saudara, tetapi semua ini demi hidup rekaan saya. saya diciptakan manusia, dan manusialah yg harus bertanggung jawab atas ciptaannya itu.


sebelum semua file tentang diri saya kena virus, saya harap saudara membujuk suami pengarang itu untuk mandapatkan file-file tersebut, membacanya, dan menerka-nerka arah nasib saya selanjutnya. saya sungguh tidak tahu apakah segalanya itu menunjukkan bahwa nasib saya telah menjadi korbn takdir manusia.



pengarang belum mati




penulis novel itu belum mati, ternyata. pada suatu malam, di sebuah warung sate aku bertemu dengannya. tubuhnya sama sekali utuh seperti yg aku kenal selama ini, tidak seperti yg bisa dibayangkan tentang org yg sudah meninggal. aku pura-pura tidak terkejut meskipun tahu sebelumnya bahwa ia telah lama meninggal dunia; kami pernah pergi ke makam menyaksikan penguburannya.


kalimat pertama yg disampaikannya dalam warung yang kebetulan sepi itu adalah semacam tuduhan bahwa aku telah ikut menyebarkan kabar bohong mengenai kematiannya. menahan keheranan yg tidak bisa ditampung dalam kamus-kamus, aku menanyakan apa memang ia benar-benar belum meninggal dunia. tentu saja ia berang, tetapi tampak jelas bahwa kemarahannya terhadapku itu ditekannya sebaik mungkin agar aku tidak merasa disalahkan sepenuhnya.


aku melihatnya memesan kopi panas, sesuatu yg tidak biasa ia lakukan. ia tidak suka kopi, itu sepanjang yg kuketahui tentang dia. atau dokter melarangnya minum kopi karena penyakitnya yg segala macam. tapi kali ini ia jelas menerjang larangan dokter, kalau memang itu masalahnya. tak banyak bicaranya, tetapi sorotan matanya bicara lebih banyak dari apa yg seharusnya diucapkannya. juga keadaan fisiknya yg tampaknya semakin lemah itu.


"aku sehat. dokter memang punya kewajiban bilang bahwa pasiennya menderita berbagai macam penyakit karena itu memang tugasnya, kalau tidak boleh dikatakan mata pencahariannya. apa kau pernah dikatakan sehat sempurna? ada saja yg dikatakannya, kamu kekurangan darah, trombositmu rendah, sumsum tulangmu bermasalah, kamu demam, dan semua jenis penyakit yg tidak jarang mengirimmu ke rumah sakit. aku sehat, kau lihat sendiri."


dan ia pun memesan sate dan gulai kambing, suatu hal yg belum pernah aku lihat sejak setidakny lima tahun terakhir. yg aku tahu dia selalu menghindari kambing, bukan karena apa tetapi karena menurutnya agak amis baunya. namun pengarang itu makan seolah tanpa nafsu, tetapi jelas bahwa ia berusaha meyakinkanku bahwa ia sehat walafiat. iya memang masih utuh tetapi tampak...letih.