Pages

Rabu, 19 Februari 2014

saling memaafkan




Aku punya sebuah kisah.


Suatu ketika di sebuah universitas, seorang dosen yang mengajarkan mata kuliah personal development meminta mahasiswanya untuk membawa kantong plastik transparan sebanyak satu buah dan beberapa kentang untuk permainan. Masing-masing diberi nama orang yang paling dibencinya, sehingga setiap mahasiswa berbeda jumlah kentangnya. Mahasiswa yang paling banyak membawa kentang bernama Toni.


Lalu, sebelum kelas usai, sang dosen meminta mahasiswa untuk membawa kentang tersebut selama satu minggu ke mana pun mereka pergi, bahkan ketika tidur maupun ke toilet. Lalu, mulailah terdengar berbagai keluhan. Namun, semua mahasiswa tetap melakukan apa yang diminta oleh dosen mereka.


Hari berganti hari. Kentang pun mulai membusuk. Mahasiswa mulai mengeluh dan kesal, terutama mahasiswa yang bernama Toni, karena ia membawa 12 buah dan yang paling banyak. Selain berat, bau yang dikeluarkan pun juga sangat tidak sedap. Waktu berlalu dan semua merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.


“mahasiswa sekalian, bagaimana rasanya membawa kentang selama satu minggu?” tanya sang dosen.


Maka terdengarlah keluhan dari setiap mahasiswa. Lalu, toni yang membawa kentang paling banyak mengacungkan jari dan bertanya,“pak, untuk apa sih meminta kami membawa kentang busuk selama satu minggu? Berat dan bau sekali.”


Lalu sang dosen pun menjelaskan,
“mahasiswaku sekalian, seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa jika kita tidak memaafkan orang lain. Hanya satu minggu sudah terasa berat, bagaimana jika kita membawa kebencian itu seumur hidup kita? Bukankah kasih sayang dan saling memaafkan akan lebih indah dari rasa benci dan dendam?”




Memaafkan memang sebagai hadiah yang sangat berharga bagi orang lain. Tapi di balik itu semua sebenarnya adalah memaafkan merupakan kebutuhan bagi diri kita sendiri.