Pages

Kamis, 02 Januari 2014

kenangan



kenangan. sebuah dunia yang aneh. dunia itu seperti sepasukan pemberontak yang sangat bengal atas sebuah kekuasaan yang bernama kehendak. bahkan tetap sebagai pemberontak yang mampu menandingi kecerdikan kekuasaan yang lain, alam pikir. ia bahkan tetap saja sebagai sepasukan pemberontak yang culas, yang terus merecoki kekuasaan kesadaran.

ia, kenangan, bisa datang dari apa saja, dari mana saja, seperti setan. ia bisa menyentak ketika kita sedang mengaduk minuman. ia bisa menerabas hanya lewat satu adegan kecil di film yang sedang kita tonton. ia bisa menyeruak dari sebuah deskripsi novel yang sedang kita baca. ia bersemayam di mana-mana, di wangi parfum orang yang bersimpangan dengan kita, di saat kita sedang termangu di pantai, di saat kita sedang mendengarkan lagu.

Ia memiliki sejenis keangkuhan yang dimiliki oleh setan. Seakan-akan jauh hari ia sudah bilang, “Tuhan kehendak, Tuhan pikiran, Tuhan kesadaran, aku bersedia masuk ke dalam neraka, tapi ijinkanlah aku mendatangi seluruh peristiwa, menggoda mereka, menyeret mereka untuk menerima godaanku..”

Ia datang tak diundang. Ia pergi tak diantar. Seperti jelangkung.

Kenangan itu juga seperti kubangan lumpur hidup. Tanpa sadar kita telah terperosok di dalamnya, dan ketika kita mencoba keluar dari kubangan itu, ia semakin menyedot masuk.

Ia, kenangan, seperti sepasukan kecil gerilyawan yang liat. Ia bisa bersembunyi di balik angin, malam, dan hujan. Lalu meremukkan seluruh batalyon tempur. Dan sialnya, ia beroperasi dengan meminjam banyak sistem operasi yang ada. Ia bisa datang dengan pembedaan, ia bisa datang dengan melakukan persamaan. Ketika kita sedang membaca sebait puisi sedih, ia akan mendatangi dengan persamaan. Ketika kita sedang membaca puisi yang memberi semangat, ia datang dengan pembedaan, menyeret semangat kita menjadi sedih kita. Dan itu adalah kesialan terbesar.



Kenangan dan kesedihan. Dua bersaudara yang aku tidak pernah tahu sampai detik ini, yang manakah yang lebih tua, dan yang mana yang lebih muda.

Ada orang yang bilang bahwa pada awalnya, awal sekali, setiap manusia yang lahir sudah dikutuk untuk lebih dulu kenal kesedihan. Buktinya, setiap bayi yang lahir selalu menangis, dan bukannya tertawa.

Tapi waktu itu aku menolak tesis itu. Karena menurutku tidak ada hubungan antara menangis dan kesedihan. Banyak orang yang mengekspresikan kesenangan dengan menangis. Lalu alasan yang lain adalah karena tangisan pertama itu adalah bahasa natural, refleks dari keadaan asfiksia, lagi-lagi tidak ada hubungannya dengan kesenangan dan kesedihan.

Tapi kemudian aku meragukan bantahanku sendiri. Pengalamanku atas masa laluku meragukan sendiri jawabanku, tetapi pada dataran yang lebih substantif: kenangan sedih itu lebih mendasar. Mengapa dulu, aku selalu mencoba mendokumentasikan momen-momen gembira? Mengapa album foto keluargaku selalu berisi keriangan? Mengapa aku tidak pernah mendokumentasikan saat kakekku sakit? Mengapa mama tidak pernah memotretku saat aku terkapar sakit? Mengapa orang-orang pacaran itu melakukan potret berdua saat dimana mereka tidak sedang bertengkar? Mengapa orang-orang itu memenuhi album foto mereka dengan acara ulang tahun, wisuda, momen pernikahan, dan lain-lain? Kenapa momen sedih tidak mencoba dikekalkan?

Aku bisa saja menjawab tetap ada dokumentasi kesedihan. Tapi berapa banyak? Berapa perbandingannya? Dan untuk dikonsumsi oleh siapa?

Kalau misalnya ada orang mendokumentasikan saat-saat demonstrasi, bukankah di sana yang ada kesedihan? Di sana ada airmata dan darah. Tapi kalau aku mau jujur lagi, tidak, tidak itu. Orang mendokumentasikan untuk keperluan yang lain. Dan saat aku memandang foto itu, yang sesungguhnya muncul, dan lagi-lagi susah diakui adalah, yang muncul adalah perasaan heroisme yang malu-malu kucing. Mengakulah!

Sudah dari awal, sepertinya, kenangan kesedihan lebih berjumawa dibanding kenangan akan keriangan. Kenangan sedih tidak butuh alat pencatat. Ia, kenangan sedih itu, justru ingin disingkirkan melalui catatan-catatan atas kebahagiaan dan kesenangan. Ia ingin dibakar sampai habis, dilenyapkan. Lihatlah, betapa manjanya pangeran kecil yang bernama kebahagiaan itu. Sang pangeran dikelilingi oleh punggawa-punggawa catatan: foto-foto, kado-kado, dan suvenir.

Dan lihatlah betapa pendek jarak yang terbentang antara kenangan gembira dengan kegembiraan itu. Tapi lihatlah, betapa jauhnya jarak yang dibentangkan antara si pengingat kesedihan dengan kenangan sedih.

Jarak? Ya, jarak!

Sederhana. Ambillah contoh di saat kamu kelas dua SD, ibumu sakit, calon adikmu gagal lahir ke dunia. Sekarang ingat baik-baik, kesenangan apa saja yang kamu ingat di saat kamu duduk di kelas dua SD itu?

Tidak ada.

Nah!


0 thoughts: